Berminggu-minggu aku mencoba membuktikan perasaanku.
Aku selalu membiarkanmu berjalan, mengobrol, berinteraksi dengannya. Aku rela
melakukannya karena aku melihat benih-benih perasaanmu kepadanya, dan—sepertinya—pelan-pelan
tumbuh menjadi bunga yang indah.
Aku selalu memastikan akan perasaanku padamu, dan
perasaanmu kepadanya. Beberapa waktu lalu, kau bilang padaku kalau kau
mencintaiku. Aku terus berusaha mencerna kalimat yang masuk dalam pikiranku
itu. Tapi entah mengapa, aku selalu ragu dengan pernyataan-pernyataanmu
kepadaku. Mungkin aku yang terlalu pesimis. Atau memang kau yang tidak bisa
meyakinkanku karena kau selalu membuat perasaan itu membakar diriku. Perasaan
yang tak berhak aku rasakan padamu. Cemburu.
Kau tak akan pernah mengerti perasaanku padamu.
Meskipun berulang kali aku berusaha menunjukkannya padamu.
Aku tahu, memang awalnya kau hanya menjadikanku
sebagai pelarian olehmu. Yang kau sertakan aku hanya di setiap sendirimu. Dan
tak ingat akan hadirnya diriku setiap kali kau dengannya. Dan mungkin selamanya
akan seperti itu.
Maaf jika aku tak bisa memperlakukanmu seperti dia.
Yang selalu menemanimu berjalan di setiap lorong sekolah. Yang bisa menemuimu
kapanpun dia mau.
Mungkin perasaan yang kamu rasakan itu untuk dia,
bukan untukku. Mungkin bagi sebagian orang itu hal yang tabu, tapi ketika
manusia sedang jatuh cinta, segalanya bisa terjadi. Termasuk kau bersama
dengannya. Dia yang berbeda kepercayaan denganmu.
Kau adalah orang yang sama membuatku tersenyum dan
menangis. Kau memang berada dalam bagian hidupku. Tapi bukan untuk ku miliki.
Keindahan dari setiap senyummu hanya untuk dia, atau
mungkin selamanya tidak akan berubah. Meski begitu, mengapa aku tidak menemukan
jalan keluar dari bayang-bayang dirimu?
Jika suatu hari nanti kau menyadari dan telah
mengerti akan perasaanku, kumohon jangan salahkan dirimu. Mungkin memang ini
takdir dari setiap rasaku. Cintaku padamu seperti ujung negatif magnet yang
selalu dicoba untuk di satukan dengan bagian negatif lainnya. Tidak akan pernah
menyatu.
Maaf jika nanti aku tidak bisa lagi menemani
sendirimu. Aku rasa cukup perasaan tarik-ulur yang kau lakukan padaku.
Dan inilah pengorbanan terakhirku :
“membiarkanmu bahagia meskipun tanpa diriku…”